Pekerjaan Sosial

Depresi Pada Lansia
Tanggal: Wednesday, 24 May 2006
Topik: Depsos

        Lanjut usia sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan manusia, sering diwarnai dengan kondisi hidup yang tidak sesuai dengan harapan. Banyak faktor yang menyebabkan seorang lansia megalami gangguan mental seperti depresi, oleh karena itu seorang pekerja sosial terutama yang bekerja pada setting pelayanan lansia baik itu berbasisi panti maupun berbasi komunitas. 


       Depresi dan Lanjut Usia Lanjut Usia sebagai tahap akhir siklus perkembangan manusia. Masa dimana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Pada kenyataanya tidak semua lanjut usia mendapatkan ?tiket? yang sama untuk mengecap kondisi hidup idaman ini. Berbagai persoalan hidup yang mendera lanjut usia sepanjang hayatnya, seperti: kemiskinan, kegagalan yang beruntun, stress yang berkepanjangan, ataupun konflik dengan keluarga atau anak, atau kondisi lain seperti tidak memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan lain sebagainya. Kondisi-kondisi hidup seperti ini dapat memicu terjadinya depresi. Tidak adanya media bagi lanjut usia untuk mencurahkan segala perasaan dan kegundahannya merupakan kondisi yang akan mempertahankan depresinya, karena dia akan terus menekan segala bentuk perasaan negatifnya kealam bawah sadar........

 
      Cita-cita seseorang untuk dapat hidup bersama dan mendapatkan perawatan dari keluarga terutama anak/cucu pada saat lanjut usia bukanlah sebuah jaminan, sebab ada beberapa faktor, sehingga lanjut usia tidak mendapatkan perawatan dari keluarga, seperti: tidak memiliki keturunan, punya keturunan tapi telah lebih duluan meninggal, anak tidak mau direpotkan untuk mengurus orang tua, anak terlalu sibuk dan sebagainya. Maka panti merupakan salah satu alternatif kepada lanjut usia untuk mendapatkan perawatan dan pelayanan secara memadai, akan tetapi hal ini tidak seratus persen akan diterima oleh lanjut usia secara lapang, hidup di panti bukan merupakan pilihan terbaik, bahkan sebaliknya menjadi pilihan pahit yang kadang menyedihkan. Dalam konteks ke-Indonesian pada umumnya lanjut usia seringkali menghayati penempatan mereka di panti sebagai bentuk pengasingan dan pemisahan dari perasaan kehangatan yang terdapat dalam keluarga, apalagi lansia yang masih punya anak dengan kondisi hidup berkecukupan. Nilai-nilai seperti anak harus berbakti pada kedua orang tua yang masih kuat mengakar pada masyarakat, menjadi beban tersendiri bagi lanjut usia untuk melepaskan ketergantungan (baca: hidup bersama anak) dari anak-anaknya. perasaan-perasaan negatif akan muncul dalam benak lansia, perasaan kecewa, tidak dihargai, sedih, dendam, marah dan sebagainya. sikap bersabar dan mencoba menerima kondisi hidup apa adanya merupakan obat penawar yang cukup efektif untuk jangka pendek, akan tetapi sikap sabar tidak dengan sendirinya atau secara otomatis akan menghilangkan perasaan-perasaan tersebut, sikap sabar tidak lain merupakan mekanisme pertahanan ego yang dinamakan Represi. pada saat-saat tertentu perasaan-perasaan tersebut akan muncul dan menimbulkan depresi. 

        Frank J.Bruno dalam Bukunya Mengatasi Depresi (1997) mengemukan bahwa ada beberapa tanda dan gejala depresi, yakni: 
1.Secara umum tidak pernah merasa senang dalam hidup ini. Tantangan yang ada, proyek, hobi, atau rekreasi tidak memberikan kesenangan. 
2.Distorsi dalam perilaku makan. Orang yang mengalami depresi tingkat sedang cenderung untuk makan secara berlebihan, namun berbeda jika kondisinya telah parah seseorang cenderung akan kehilangan gairah makan. 
3.Gangguan tidur. Tergantung pada tiap orang dan berbagai macam faktor penentu, sebagian orang mengalami depresi sulit tidur. Tetapi dilain pihak banyak orang mengalami depresi justru terlalu banyak tidur. 
4.Gangguan dalam aktivitas normal seseorang. Seseorang yang mengalami depresi mungkin akan mencoba melakukan lebih dari kemampuannya dalam setiap usaha untuk mengkomunikasikan idenya. ?Ya,kan? saya tidak mengalami depresi?.dilain pihak, seseorang lainnya yang mengalami depresi mungkin akan gampang letih dan lemah. 
5.Kurang energi. Orang yang mengalami depresi cenderung untuk mengatakan atau merasa,?saya selalu merasah lelah? atau ?saya capai?. Ada anggapan bahwa gejala itu disebabkan oleh faktor-faktor emosional, bukan faktor biologis. 
6.Keyakinan bahwa seseorang mempunyai hidup yang tidak berguna, tidak efektif. orang itu tidak mempunyai rasa percaya diri. Pemikiran seperti, ?saya menyia-nyiakan hidup saya,? atau ?saya tidak bisa mencapai banyak kemajuan?, seringkali terjadi. 
7.Kapasitas menurun untuk bisa berpikir dengan jernih dan untuk memecahkan masalah secara efektif. Orang yang mengalami depresi merasa kesulitan untuk menfokuskan perhatiannya pada sebuah masalah untuk jangka waktu tertentu. Keluhan umum yang sering terjadi adalah, ?saya tidak bisa berkonsentrasi?. 
8.Perilaku merusak diri tidak langsung. contohnya: penyalahgunaan alkohol/narkoba, nikotin, dan obat-obat lainnya. makan berlebihan, terutama kalau seseorang mempunyai masalah kesehatan seperti misalnya menjadi gemuk, diabetes, hypoglycemia, atau diabetes, bisa juga diidentifikasi sebagai salah satu jenis perilaku merusak diri sendiri secara tidak langsung. 
9.Mempunyai pemikiran ingin bunuh diri. (tentu saja, bunuh diri yang sebenarnya, merupakan perilaku merusak diri sendiri secara langsung. Frank menambahkan bahwa tidak ada aturan yang pasti untuk setiap orang. tetapi merupakan konvensi untuk menyatakan bahwa kalau lima atau lebih dari tanda-tanda atau gejala itu ada dan selalu terjadi, maka sangat mungkin seseorang mengalami depresi. Lain halnya jika seseorang mnegalami gejala pada nomor 9, yakni punya keinginan untuk bunuh diri, maka Frank menganjurkan seseorang untuk segera mencari bantuan profesional secepat mungkin. 

     Dengan memahami gejala-gejala tersebut diatas maka diharapkan para pekerja sosial yang bekerja di Panti Sosial tresna werdha dapat memahami gejala-gejala depresi yang mungkin dialami oleh klien. Aktivitas Fisik dan Depresi Menurut Frank bahwa seseorang yang mengalami depresi perlu diberikan aktivitas fisik terutama olah-raga. Setidaknya ada dua alasan penting mengapa olah raga perlu untuk penderita depresi. pertama, olah raga meningkatkan kesadaran sistem syaraf sentral. Denyut nadi meningkat dan anda menjadi sadar. Anda membangkitkan semua sistem anda. hal ini berlawanan dengan penurunan kesadaran syaraf sentral akibat adanya depresi. kedua, olah raga bisa memacu sistem syaraf sentral. endorphin adalah molekul organik yang seperti halnya norepinephrine dan serotonin, berfungsi sebagai kurir kimiawi. Kadang endorphin dianggap sebagai candu (opium) alami yang berfungsi untuk meningkatkan proses biologis untuk mengatasi depresi. Karenanya pekerja sosial diharapkan bisa mengidentifikasi olah-raga yang disenangi oleh klien yang terindikasi depresi dan mendesainnya menjadi sebuah program yang kontinyu dan rutin, pekerja sosial dapat bekerjasama dan berkonsultasi dengan tanaga medis mengenai berbagai bentuk gerak yang efektif yang bisa menstimulus detak jantung. 

     Depresi Dan Makanan Ringan Frank mengemukakan bahwa depresi berhubungan dengan tingkat kesadaran yang rendah. kesadaran mengacu pada proses psikologis yang meliputi hal-hal seperti misalnya kemampuan untuk memusatkan perhatian seseorang dan kemampuan untuk bekerja secara efektif. Makanan berat secara otomatis akan memicu tindakan bagian syaraf parasimpatik yakni cabang dari sistem syaraf otonom yang menurunkan kesadaran. Darah dialirkan ke proses pencernaan untuk membantu seseorang mencerna makanan yang dimakan. Sewaktu darah meninggalkan otak dan tangan serta kaki, tubuh akan merasa lemas dan mengantuk, karena itu makan makan berat cenderung memicu depresi. Karena itu dianjurkan untuk makan makan ringan, ketika lapar diantara jam-jam makan, akan tetapi sebaiknya menghindari makanan yang mengandung kadar gula yang tingi. Sementara kudapan yang rendah kalori dan berprotein tinggi akan membuat seseorang tetap segar, memuaskan rasa lapar, dan tidak mengganggu kesadaran optimal seseorang. 

     Tugas pekerja sosial adalah memperhatikan jenis makanan yang akan disajikan kepada lanjut usia yang mengalami depresi. Peran Pekerja sosial sebagai Pendengar yang Efektif Sering kita dengar bahwa alat yang digunakan oleh pekerja sosial dalam membantu klien adalah dirinya sendiri. Dirinya dalam artian seluruh instrumen yang terdapat pada diri pekerja sosial merupakan alat praktek yang memiliki efek terapi apabila digunakan secara tepat. Mata dengan pandangan yang penuh perhatian, mimik muka dan ekspresi wajah simpati, sikap yang tepat merupakan alat pekerja sosial untuk membantu klien untuk mengembalikan rasa percaya diri serta perasaan diperhatikan dan dihargai sebagai manusia yang bermartabat. Penerimaan yang tulus dari pekerja sosial tanpa ada sentimen apapun berdasarkan latar belakang merupakan kepuasan tersendiri yang akan diterima oleh klien jika mendapatkan pelayanan dari pekerja sosial. 

      Dengan telinga pekerja sosial bisa mendengarkan segala keluh kesah pada klien yang mengalami depresi. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa depresi timbul akibat adanya dorongan negatif dari super-ego yang diresepsi dan lambat laun akan tertimbun dialam bawah sadar. Sehingga depresi adalah sebentuk penderitaan emosional. Kekecewaan ataupun ketidakpuasan secara emosional yang direpresi tidak secara otomatis akan hilang, melainkan sewaktu-waktu akan muncul ((return of the repressed). oleh karena itu sebagai toksin (racun) penyebab depresi yang ada pada diri lanjut usia perlu digali dan dikeluarkan, salah satu medianya dengan percakapan. Psikoterapi malah sering didefenisikan dengan penyembuhan melalui percakapan. 

      Menurut para ahli psikoterapi percakapan efektif untuk menyembuhkan kepribadian yang terluka, jika dirancang dan didesain secara tepat, kontinyu, dilaksanakan dengan perhatian yang tulus, dimulai dengan hubungan baik, serta mampu menumbuhkan harapan klien. Dalam percakapan tentu perlu ada yang mendengarkan. Percakapan antara pekerja sosial dengan klien bukanlah sekedar pemberian nasehat (advice giving) dimana pekerja sosial memiliki otoritas yang dominan untuk menceramahi klien, dan klien harus menurut. 
Dalam tehnik percakapan ini pekerja sosial lebih banyak menjadi pendengar yang efektif. Saat klien telah mampu mengungkapkan perasaannya maka berilah kesempatan yang seluas-seluasnya, dengan aman, dan nyaman untuk bercerita. Dengan bercerita dan pekerja mendengar dengan penuh minat, maka klien telah mulai bekerja mengeluarkan segala kecemasan, serta perasaan-perasaan yang menekan jiwanya. jika dilakukan secara terencana dan kontinyu, maka kemungkinan besar toksin (racun) depresi pada klien akan terangkat seluruhnya sampai bersih. 

     Tugas pekerja sosial adalah membantu klien memahami realitas apa yang sesungguhnya dialami, sehingga klien bisa keluar dari kondisi yang membuatnya depresi. Pekerja sosial dalam proses pertolongan agar sangat berhati-hati jangan sampai timbul proses pemberian nasehat yang justru menimbulkan kesan menghakimi, sebab penghakiman adalah cairan cuka yang disiramkan pada luka emosional klien. Sikap yang terkesan menasehati ataupun dengan sengaja mensehati merupakan bakteri/racun baru yang akan memperbesar tumor depresi klien. Nasehat yang terlalu dini/dmoninan serta tidak pada tempatnya tidak akan berdampak pada penyembuhan, sebab sebelum klien butuh nasehat sebagai salah satu ramuan obat, maka klien perlu mengeluarkan segala bentuk tekanan emosionalnya. Bercerita, berkeluh kesah, mendesah, mengadu, curhat, ataupun menangis bahkan berontak adalah merupakan cara alamiah untuk mengembalikan keseimbangan dan kestabilan emosional klien serta akan melepaskan enenrgi-energi negatif yang menggantung dan menyesakkan jiwanya. Karenanya pekerja sosial yang memainkan peran sebagai konselor/terapis jangan buruh-buruh mengeluarkan kata-kata seperti: ?oma mesti sabar, menghadapi kenyataan ini? atau ?oma, jangan menangis tidak baik? atau ?tidak baik berkeluh kesah? dsb. kata-kata seperti itu hanya akan menyumbat upaya klien mengobati dirinya. Jika klien berkeluh kesah, menangis, mengadu, curhat, maka berilah kesempatan, karena klien pada saat sedang melepaskan toksin/racun dalam jiwanya, yang diharapkan adalah dukungan dan perhatian dari konselor. Jika klien meminta saran dan tanggapan, maka berikanlah saran dan tanggapan dengan selogis dan serealistis mungkin, jawaban tidak harus kepastian, tapi usahakan klien diajak berpikir untuk menemukan solusi yang paling tepat. Klien perlu dirangsang untuk berpikir secara positip dan realisitis dalam menghadapi situasi sulit. Menasehati ataupun mendikte bukanlah cara yang bijak sekalipun nasehat itu cocok untuk dilakukan oleh klien, sebab akan membuat klien malas berpikir dan tidak pernah belajar untuk memecahkan masalahnya sendiri. Klien perlu juga diberdayakan, sebab klien memiliki potensi yang cukup untuk menolong dirinya, pekerja sosial perlu mengingatkan dan memunculkan kembali potensi-potensi tersebut, kuatkan klien dan kembalikan kepercayaan dirinya untuk melawan depresi. Ditulis disamaya, 26 Januari 2006 Sumber Pustaka Frank J. Bruno, Ph.D (ditermahkan oleh Yosep Bambang), (1997), Mengatasi Depresi, Gramedia, Jakarta. 

Disusun dan dikirim oleh : Syamsuddin,S.ST (PSTW Gau Mabaji Gowa) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar